Jakarta,- Kabarberitanews.co.id
Dalam setiap sistem demokrasi, kepercayaan publik adalah fondasi utama yang menopang legimitasi kekuasaan. Tidak cukup sekedar menang dalam pemilu dah sah
menurut hukum, sebuah pemerintah hanya akan bertahan lama jika ia mendapat kepercayaan moral dari rakyat – bukan hanya suara, tetapi keyakinan bahwa pemerintah
benar-benar, tetapi keyakinan bahwa pemerintah benar-benar bekerja untuk
kepentingan umum.
Saat ini, di awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, isu kepercayaan publik menjadi salah satu tantangan paling
krusial. Janji-janji populis seperti makan siang gratis untuk pelajar dan program bantuan
sosial memang disambut dengan antusias, namun pada saat yang sama, muncul pertanyaan tentang kemampuan fiskal negara untuk merealisasikannya tanpa
menambah beban utang yang bisa mengancam stabilitas keuangann negara.
Francis Fukuyama, dalam bukunya Trust: The Social Virtues and The Creation of
Prosperity (1995), menyebutkan bahwa kepercayaan sosial merupakan modal paling
berharga dalam membangun institusi yang kuat dan negara yang stabil. Bila kepercayaan
ini retak, maka tak ada perangkat hukum atau mekanisme politik yang mampu menyelamatkan sebuah kekuasaan dari krisis legimitasi.
Tanpa fondasi kepercayaan,
hubungan antara rakyat dan pemerintah akan dipenuhi dengan kecurigaan, resistensi,
dan pada akhirnya delegitimasi.
Fenomena ini juga relevan dalam refleksi bulan Mei, di mana publik selalu mengingat runtuhnya Orde Baru bukan hanya krisis moneter, melainkan karena hilangnya kepercayaan rakyat atas moralitas dan kapasitas pemerintah waktu itu.
Ketika suara rakyat diabaikan, keadilan sosial mandek, dan transparansi digantikan oleh politik
akal-akalan, kepercayaan publik tidak hanya menurun, tapi berubah menjadi penolakan.
Gerakan Mei 1998 menjadi bukti historis bahwa ketika kepercayaan publik runtuh, kekuasaan sekuat apa pun bisa tumbang oleh gelombang aspirasi rakyat.
Reformasi yang lahir dari momentum tersebut mengajarkan bahwa legitimasi tidak semata bersumber dari jabatan formal, melainkan dari kemauan penguasa
mendengar, menghormati, dan memenuhi harapan rakyat. Kini, di era pemerintahan Prabowo-Gibran, Pelajaran Mei menjadi pengingat bahwa stabilitas negara bergantung pada kesetiaan pimpinan terhadap prinsip keadilan sosial, keterbukaan, dan penghormatan pada suara publik.
Di Tengah tantangan ini, peran institusi penegak hukum –khususnya Kepolisian
Negara Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo –
menjadi garda depan dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas negara dan
kepercayaan publik. Jenderal Listyo Sigit, sejak awal kepemimpinannya, mengusung
semangat Polri Presisi – prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan.
Konsep ini bukan hanya jargon kelembagaan, melainkan instrumen penting untuk menjaga agar
penegakan hukum tidak menjadi alat politik kekuasaan, tetapi tetap menjadi pelindung hak-hak sipil masyarakat. Sebab, dalam banyak krisis politik di negara manapun,
ketidakpercayaan terhadap penegak hukum sering kali menjadi pemicu utama runtuhnya legimitas negara.
Dalam pemerintahan baru, peran Polri semakin strategis – bukan hanya sebagai aparat keamanan, melainkan sebagai institusi pengawal keadilan yang netral dan
professional. Polri harus memastikan bahwa setiap kebijakan pemerintah berjalan
dalam koridor hukum yang adal dan transparan, sekaligus menjadi penjaga keseimbangan antara hak negara dan hak rakyat.
Dalam konteks inilah kepemimpinan Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghadapi tantangan penting menjaga kepercayaan publik di tengah dinamika politik yang sarat kepentingan. Netralitas, profesionalisme, dan keberpihakan pada prinsip keadilan harus menjadi fondasi utama dalam setiap tindakan. Sebab di tengan sorotan masyarakat yang semakin kritis, Polri
bukan hanya dituntut menegakkan hukum, tetapi juga menjadi teladan integritas institusi
dalam menopang stabilitas demokrasi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dalam kerangka teori sistem politik, kepercayaan publik (trust) tidak hanya diperoleh dari output kebijakan, tetapi dari sikap responsif negara dalam merespons kebutuhan dan keluhan masyarakat. Di sini, Polri menjadi aktor penting yang bisa memperkuat atau bahkan memperlemah trust itu sendiri, tergantung pada seberapa adil
dan akuntabel mereka dalam mengakkan hukum.
Jika Polri berhasil menjaga netralitas dan profesionalise di Tengah derasnya dinamika politik kekuasaan, institusi ini akan
menjadi salah satu benteng utama dalam mencegah delegimitasi pemerintahan Prabowo-Gibran di mata publik. Namun jika terjadi penyalahgunaan wewenang atau bias politik dalam penegakkan hukum, Polri justru bisa menjadi titik awal dari kepercayaan
yang lebih besar.
Sebagai catatan akhir, pengalaman Sejarah menunjukkan bahwa negara yang kehilangan kepercayaan rakyat, berapa pun besarnya suara di pemilu, akan menghadapi
kerentangan sosial-politik yang mengancam ketahanan nasional. Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran harus memahami bahwa kepercayaan publik bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kerja keras, transparansi, dan konsistensi dalam menegakkan keadilan. Di sisi lain, Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo memiliki mandat moral untuk memastikan bahwa hukum tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan pondasi
keadilan bagi seluruh rakyat. Karena dalam demokrasi, kekuasaan bisa diwariskan, tapi kepercayaan publik hanya bisa diraih – dan itu hanya mungkin jika seluruh elemen negara berjalan di atas prinsip akuntabilitas dan integritas. Red
Penulis :Dr. Bachtiar
Dosen Pascasarjana Universitas Pamulang